Jika ditanya,
apa wahyu Allah yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW? Kita
pastinya sudah tahu jawabannya ialah surat al-Alaq ayat 1 sampai 5. Kata pertama
pada ayat tersebut ialah “iqra” yang berarti “bacalah”.
Dari sinilah,
banyak ulama yang menafsirkannya secara meluas. Salah satu tafsiran tersebut
ialah bahwa kita diperintahkan untuk membaca untuk menambah pengetahuan. Tafsir
yang lebih spesifik ialah kita diperintahkan untuk membaca al-Qur’an.
Pertanyaannya, dalam
ayat tersebut, benarkan kita diperintahkan hanya sebatas membaca al-Qur’an? Jawabannya
akan kita ketahui jika kita pelajari secara mendalam tentang keadaan saat
turunnya ayat tersebut. Di samping itu, kita juga perlu belajar dari penjelasan
para ulama tentang makna kata “iqro” yang terdapat dalam surat al-Alaq dan hadits-hadits
nabi.
Keadaan Saat
Turunnya Wahyu Pertama
Pada saat wahyu
pertama turun, Malaikat Jibril membacakan wahyu tersebut kepada Nabi Muhammad
SAW. Proses Malaikat Jibril menyampaikan wahyu tersebut kepada nabi hanya
dengan membacakannya secara berulang-ulang tanpa disertai teks. Setelah beberapa
kali di-talaqqi oleh Jibril, barulah nabi bisa menghafalnya lalu beliau
menyampaikannya kepada orang-orang terdekatnya.
Bahkan, bukan hanya
wahyu pertama, firman-firman Allah yang turun berikutnya sampai yang turun terakhir
pun tanpa disertai teks. Firman Allah (al-Qur’an) baru dibukukan beberapa tahun
setelah nabi wafat. Berdasarkan hal ini, kata “iqro” sejatinya bukan hanya sekadar
perintah membaca al-Qur’an. Sebab, keadaan pada saat turunnya al-Qur’an itu
tidak disertai teks.
Bagaimana mungkin
seseorang dapat membaca tanpa disertai teks tertulis? Maka dari itu, makna yang
tepat dari kata “iqro” dalam surat al-Alaq ialah “hafalkanlah (al-Qur’an)”. Saat
wahyu turun, nabi menghafal apa yang diucapkan oleh Jibril. Inilah pengertian “iqro”
yang sebenarnya.
Penjelasan
Ulama
Kata “iqro” yang
mengacu kepada al-Qur’an juga pernah disabdakan oleh Rasulullah. Beliau pernah
bersabda (yang terjemahannya), “Kelak (di akhirat) akan dikatakan kepada
Shahibul Quran, “Bacalah, naiklah terus dan bacalah dengan tartil sebagaimana
engkau telah membaca al-Quran dengan tartil di dunia. Sesungguhnya tempatmu ialah
pada akhir ayat yang engkau baca.” (riwayat Abu Daud nomor 1464 dan Tirmidzi nomor
2914)
Syaikh al-Albani
dalam kitabnya yang berjudul as-Silsilah ash-Shohihah nomor 2440
menjelaskan, makna kata “iqro” dalam hadits tersebut ialah perintah untuk
menghafalkan al-Qur’an.
Khatimah
Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata “iqro” tidak sebatas bermakna
“bacalah” tapi bermakna “hafalkanlah”. Orang yang menghafal al-Qur’an maka
secara otomatis ia juga akan membacanya. Namun, orang yang hanya sekadar
membaca al-Qur’an belum tentu menghafalkan al-Qur’an.
Semoga artikel
ini dapat menyadarkan kita bahwa dalam wahyu yang pertama kali turun, Allah
memerintah kita untuk menghafal al-Qur’an. Maka dari itu, semua kata “iqro”
yang mengacu kepada al-Qur’an (baik dalam kitabullah itu sendiri maupun dalam hadits)
memiliki arti perintah untuk menghafalkan al-Qur’an.
Dengan menghafal
al-Qur’an, kita bisa mudah membacanya kapan pun dan dimana pun. Imam Syafi’i
bisa meng-khatamkan al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali karena beliau hafal
al-Qur’an sehingga beliau bisa membaca al-Qur’an kapan pun tanpa harus membawa
dan membuka mushaf. Dengan menghafal al-Qur’an pula, wanita muslimah yang
sedang haid juga tetap bisa meraih pahala dan berkesempatan bisa menjemput laitatul
qadar di bulan Ramadhan dengan membaca hafalan al-Qur’annya karena boleh
hukumnya membaca hafalan al-Qur’an meskipun sedang haid* (*menurut pendapat
beberapa ulama).
Mulai sekarang, ayo kita semangat mulai menghafalkan al-Qur’an. Sebab, banyak sekali keutamaan dari menghafal al-Qur’an (iqro’ul Qur’an). Keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa hadits yang dirangkum dalam kitab Min Muqowwimat an-Nafsiyyah al-Islamiyyah yang di antaranya ialah: a) tidak menghafalkan al-Qur’an sama sekali diibaratkan rumah yang roboh, maka mafhum mukholafat-nya ialah menghafalkan al-Qur’an diibaratkan rumah yang kokoh; b) al-Qur’an akan memberikan syafaat di hari kiamat kepada siapa saja yang telah menghafalkannya; c) semakin banyak hafalan al-Qur’an seseorang, maka kedudukannya di surga akan semakin tinggi; dan d) penghafal al-Qur’an diibaratkan seperti buah yang beraroma harum.