Silaturahmi, Silaturahim, dan Silah-ukhuwah; Mana yang benar?



Silaturahmi atau Silaturahim?

Kata “silaturahmi” sepertinya sudah menjadi akrab atau familiar di telinga kita. Pasalnya, kata serapan tersebut sudah biasa digunakan untuk menyatakan suatu aktivitas berkunjung ke rumah seseorang atau menjalin hubungan keakraban dengan seseorang. Namun, jika kita telusuri dari bahasa asalnya, ternyata kata yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia tersebut menjadi salah kaprah.

Kata “silaturahmi”adalah kata serapan dari bahasa Arab. Namun, proses penyerapan kata tersebut untuk dijadikan kata dalam bahasa Indonesia ternyata telah mengalami perubahan dari segi leksikal.  

Penulis mendapati beberapa kata atau istilah serapan dari bahasa Arab yang menjadi bahasa Indonesia mengalami perubahan, umumnya perubahan dalam segi semantik. Perubahan tersebut umumnya berupa:

1) penyempitan makna seperti kata ‘ustad’ yang kini lebih banyak dipakai hanya untuk guru yang mengajar pendidikan agama

2) perluasan makna (ambigu) seperti kata ‘muhrim’. Dalam KBBI, muhrim bermakna ganda, yaitu a) orang yang sedang mengerjakan ihram; dan b) orang yang tidak boleh dinikahi karena keluarga dekat. Padahal definisi yang benar sesuai dengan bahasa asalnya ialah definisi yang kedua.

3) perubahan makna yang berbeda jauh sehingga tidak sama lagi maknanya seperti dalam bahasa asalnya, misalnya kata ‘mubazir’ (kata ini sudah penulis bahas pada postingan sebelumnya)

Adapun kata “silaturahmi” mengalami perubahan dalam segi leksikal. Kita tidak akan menemui kata tersebut dalam kamus bahasa Arab. Sebab, kata yang benar adalah “silaturahim”. Jadi, sekarang kita ubah ya. Bukan silaturahmi, tapi silaturahim.

 

Silaturahim dan Silah-ukhuwah

Penulis juga dapati beberapa orang menggunakan kata silaturahim untuk menyatakan suatu aktivitas menjalin tali persaudaraan kepada semua orang, baik itu saudara jauh, tetangga, teman, kenalan, dan sebagainya.

Di samping itu, penulis juga dapati bahwa kata ini juga dipakai untuk melanggengkan aktivitas yang melanggar hukum syara’ (bermaksiat) seperti berteman akrab dengan lawan jenis non-mahram bahkan hingga pacaran. Mereka berdalil dengan hadits tentang keutamaan dan kewajiban menjalin silaturahim (tali persaudaraan) dan haramnya memutuskan silaturahim. Apakah benar penggunaan dalil itu untuk fakta tersebut?

Silaturahim terdiri dari dua kata yaitu shilah dan ar-rahim. Shilah berarti menyambung, sedangkan ar-rahim berarti rahim wanita. Penggabungan dua kata ini menjadi silaturahim menghasilkan makna syar’i yaitu ‘aktivitas menyambung hubungan baik dengan karib kerabat yang memiliki hubungan nasab. Berdasarkan hal ini, kewajiban untuk ber-silaturahim hanya ditujukan kepada saudara yang masih tergolong mahram, bukan ditujukan kepada selain itu.

Maka dari itu, suatu hal yang salah kaprah apabila ada orang yang menggunakan dalil kewajiban menyambung silaturahim untuk bergaul akrab dengan lawan jenis non-mahram hingga pacaran. Bukan pahala yang akan didapat, tapi justru dosa. Sebab, hukum asal laki-laki dan perempuan non-mahram itu terpisah (tidak boleh sampai bergaul akrab). Keduanya tidak boleh ada interaksi kecuali dalam keadaan yang diperbolehkan oleh syara’ seperti saat jual beli, menuntut ilmu, dan lain sebagaiya.

Meskipun demikian, kita disunnahkan untuk menyambung pertemanan atau menjalin keakraban dengan orang lain yang bukan se-nasab atau se-mahram. Misalnya menyambung keakraban dengan teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, tetangga, rekan kerja, dan sebagainya. Aktivitas inilah disebut silah-ukhuwah. Akan tetapi, semua itu harus sesuai dengan aturan Islam, seperti berteman akrab dengan sesama jenis dan dengan orang yang mengajak kepada ketaatan, bukan kepada kemaksiatan.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam." (HR Bukhari dan Muslim)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak