Cerpen | Asar





Sore ini, aku termenung dan terdiam membisu seribu kata di teras depan rumah. Aku hanya ingin merebahkan badan di kursi tua ini. Penat yang teramat sangat terasa lantaran semenjak pagi tadi dikejar-kejar seabrek tugas di kampus.
“Hmmm..... Alhamdulillah!”, seruku sesaat setelah badan yang tadinya kaku ini bisa dirilekskan.
            Sejenak kutengok bumi yang menghampar luas dari atas sini. Tampak atap jagad raya itu memudar, mencoba mengubah kulit dari kebiru-biruan menjadi jingga nan elok. Yang menjadi pertanda bagi binatang-binatang siang bahwa sudah waktunya berganti sif dengan binatang-binatang malam.
            Kuhirup udara dalam-dalam, lalu kuhembuskan dengan perlahan. Kurasakan udara ini seperti udara yang pernah menyapaku beberapa tahun silam. Sesak dada ini mengingatnya.
***
Kring..... Kring..... Kring....... Tiba-tiba ponselku dari dalam saku mendering. Setelah kulihat, ternyata tidak ada orang lain selain dia, yang mencoba untuk meneleponku.
“Assalamu’alaikum”, katanya.
“Wa’alaikumussalam”, jawabku.
“Sore ini jadi kan?”, tanyanya.
“Iya, jadi”, tegasku.
“Oke, sebentar lagi aku sampai di rumahmu,” katanya.

            Orang yang meneleponku barusan adalah Maksum, sahabatku di sekolah menengah pertama. Teman-temanku mengira bahwa kami adalah saudara kembar lantaran memiliki kesamaan. Kami sama-sama masuk peringkat sepuluh besar tiap semester, sama-sama masuk dalam kelas kursus eksklusif di sekolah, dan kesamaan lainnya.
Kali ini dia menjemputku ke rumah dan menawarkan tumpangan dengan motor bututnya. Sama bututnya dengan motorku. Meskipun badan ini tidak bersahabat, mau tak mau aku pun harus menyanggupi permintaan sahabatku itu. Bagaimana tidak, aku sudah berjanji. Lagian sepertinya dia ingin membicarakan sesuatu kali ini. Kurasakan itu karena gaya bicaranya berbeda dari biasanya.
            Beberapa menit berlalu, penat ini sedikit demi sedikit mulai lenyap. Aku membangkitkan diri dari pembaringan untuk bersiap-siap.
“Hei! Sudah lama nunggunya?”, sapanya setibanya di rumahku.
“Tidak juga. Ayo berangkat!”, jawabku.
            Kami pun akhirnya berangkat. Dia mengajakku untuk jalan-jalan melihat pemandangan hijau. Inilah salah satu cara kami menghilangkan penat. Dengan menghirup udara segar dan mengobrol santai dengan sahabat, pikiran menjadi lebih rileks. Setibanya di ladang, dia membuka kotak kue yang dibawanya dan mempersilakan aku untuk memakan kue itu.
“Ini kue kuping gajah untukmu, dimakan ya. Diingat-ingat ya, kalau aku suka kue ini,” ucapnya yang menurutku agak aneh.
“Hmmm.... ada apa Sum?”, tanyaku keheranan melihat raut wajahnya yang tidak seperti biasanya. Dia hanya tersenyum, terdiam, dan membisu seribu kata.
“Ayo cerita, barangkali aku bisa bantu.”
Aku paksa dengan halus agar ia mau bercerita. Meski awalnya seperti tidak membuahkan hasil, akhirnya ia pun mau bercerita.
“Gini San. Keluargaku sudah membeli tiket.”
“Tiket?”, tanyaku keheranan mendengar kalimat itu.
“Iya... Ayah kemarin sudah membeli tiket kapal tujuan Kalimantan.”
“Terus?”
“Jadi kami besok pagi boyongan.”
“Mak... mak....maksudnya.... ja... jadi... ka....kamu mau pindah?”, kataku terbata-bata.
“Iya.”
“Kenapa?”
“Ayahku mau membuka bisnis kelapa sawit di sana.”

Aku tercengang mendengar berita itu. Bagaimana tidak, dia berkata kalau dia bakal pindah besok, sedangkan sebelum-sebelumnya dia tidak pernah menyampaikannya kepadaku.
“Terus bagaimana dengan sekolahmu?”
“Iya... Kalau itu sudah diurus sejak seminggu yang lalu”
Tak banyak yang dapat aku katakan saat itu karena tenggorokan ini tiba-tiba jadi serak. Aku terdiam sambil memikirkan kata-kata apa yang ingin kusampaikan kepadanya.
“Sudah, tidak perlu sedih. Toh kita masih bisa berkomunikasi lewat ponsel,” katanya mencoba menghiburku.
“Kamu jaga diri baik-baik ya. Di rumah, di sekolah. Jangan main terus, belajar yang rajin. Biar nanti bisa menyusul aku ke Kalimantan sana.”
Mendengarnya, aku hanya bisa tertawa kecil di dalam hati.
“Aku tunggu ya kedatanganmu nanti di sana,” katanya.
“Justru aku tunggu kamu balik ke sini,” sahutku.
“Emang kamu mau ngasih apa?”
“Kue kuping gajah satu truk”
“Hahahaha....” kami pun hanya bisa tertawa bercampur sedikit sedih melepas perpisahan ini.
***
“Nak, melamun terus. Sudah salat Ashar?” sahut ibuku yang seketika itu membuyarkan lamunanku.
“Eh.. iya belum Bu... Hehehe.”
“Eh malah enak-enakan di sini. Segera sholat. Sudah sore”
Aku pun turun untuk menunaikan sholat Ashar. Di sela-sela wudhu, kuteringat akan kenangan masa silam dengannya. Kenangan itu selalu ada asarnya di dalam benakku. Kuharap suatu saat nanti bisa berjumpa dengannya, entah di mana.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam." (HR Bukhari dan Muslim)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak