Cerpen | Buah Perjuangan




Hari ini, pagi nan cerah, hawa sejuk ditambah silir-semilir angin membuat perasaan begitu lega. Sebelumnya, aku harus berjuang mati-matian menyelesaikan tulisan-tulisan yang menggunung yang selalu tak luput dari revisi dan revisi lagi. Setelah melewati masa perjuangan dan penantian, kini aku berada di antara kerumunan orang-orang yang sedang bergegas menuju masa depan.
Aku memakai toga ini untuk pertama kalinya. Perasaan senang, bangga, bercampur haru meliputi hampir seluruh orang yang hadir di tempat ini. Di saat-saat seperti ini, aku hanya berharap kedatangan orang-orang yang spesial dalam hidupku.
Kulihat alroji, kuperhatikan tiap detiknya, jarum hampir mengarah ke angka delapan. Setelah beberapa menit dalam penantian, tampak dari kejauhan dua orang yang tak asing menghampiriku secara perlahan.
“Assalamualaikum.”, katanya. “Waalaikumussalam.”, jawabku sambil mencium tangan mereka. Dalam penantian panjang, akhirnya kembali kulihat dua sosok insan yang telah berumur, menginjakkan kaki di tempat ini. Mereka pangling lantaran tak pernah menyapa bumi ini, kecuali hanya sekali. Dahulu mereka pernah ke sini hanya untuk berkunjung ke kontrakanku dan memastikan keadaanku.baik-baik saja. Itu terjadi pada kuadrenium silam.
“Kamu bodoh! Mau saja menghabiskan duniamu hanya untuk membiayai pendidikan anakmu. Paling-paling nantinya juga bakal jadi buruh tani. Lihat dirimu, miskin, rumah masih jelek, hewan ternak sudah kamu jual semua,” bentak laki-laki kaya di kampungku. Waktu itu adalah saat-saat yang akan selalu kukenang untuk kujadikan motivasi.
Sambil mengayuh sepeda tua yang kerap kali mengeluarkan bunyi gemerisiknya, bapak berpesan kepadaku. “Nak, orang-orang di sini tidak ada yang seberuntung kamu. Mereka kaya-kaya, tapi tidak ada satu pun yang anaknya kuliah. Meski jadi buruh tani, tapi bapak tidak pernah takut miskin untuk membiayai sekolahmu hingga tinggi.  Nanti kalau beasiswanya sudah turun, dihemat-hemat ya dan belajar yang rajin di sana!”
“Iya, pak!”, jawabku sambil meneteskan air mata. Kuucapkan salam dan kulambaikan tangan kepadanya sebelum aku naik bus. Aku pergi ke kota meninggalkan mereka di kampung untuk menempuh pendidikan tinggi.
“Hei, nak. Kok nangis? Wisudanya mau dimulai,” kata emak yang membuyarkan lamunanku. “Oh iya mak! Aku kelilipan debu barusan,” sahutku mengelak. Sambil kuusap air mata haruku, kupegang erat tangan mereka. Aku bersyukur dan bangga hari ini. Bangga karena punya orang tua hebat seperti mereka.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam." (HR Bukhari dan Muslim)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak