Kemeriahan penyambutan datangnya
bulan mulia ini tentunya tidak terlepas dari satu peristiwa penting pada masa
Rasulullah Saw. Peristiwa penting tersebut terjadi pasca baiat Aqabah kedua. Pada
saat itu di bukit Aqabah (Mekkah), sebanyak 75 kaum muslim asal Madinah
membaiat Rasulullah sebagai kepala Negara Islam Madinah. Usai peristiwa inilah,
Rasulullah memerintahkan kaum muslim di Mekkah untuk berhijrah ke Madinah.
Peristiwa hijrah itu dimulai dari bulan Muharam dan berlangsung sampai beberapa
bulan selanjutnya.
Peristiwa hijrah ini menjadi
penanda berakhirnya tahapan dakwah yang kedua yaitu tahap berinteraksi dengan
umat (marhalah tafa’ul ma’al ummah) dan mulainya tahapan dakwah
yang ketiga yang sekaligus menjadi tahapan puncak dalam perjuangan dakwah. Pada
tahapan dakwah kedua, Rasulullah dan para sahabatnya melakukan dakwah berjamaah
secara terang-terangan di Mekkah. Pasca terjadinya baiat Aqabah kedua,
Rasulullah dan kaum muslim lainnya hijrah ke Madinah dengan tujuan untuk
menjalani tahapan dakwah yang ketiga yaitu tahap penerapan hukum-hukum Islam (marhalah
tathbiq ahkamul Islam) dalam institusi negara.
Hal tersebut di atas menjadi
dasar dalam memaknakan istilah “hijrah”. Hijrah bukan sekadar berpindah tempat.
Namun, hijrah yang sebenarnya berarti berpindah dari sistem kufur yang tidak
menerapkan aturan Allah menuju ke sistem Islam. Dalam kata lain, hijrah yang
hakiki berarti berpindah dari suatu keadaan yang tidak atau kurang islami
menuju kepada keadaan Islam yang totalitas. Poin penting inilah yang menjadi
dasar Khalifah Umar bin Khattab menetapkan awal hijrah kaum muslim menjadi awal
tahun dalam penanggalan Islam. Poin penting tersebut tentunya harus kita pelajari
dan implementasikan dalam kehidupan saat ini.
Hukum hijrah dari keadaan yang
tidak islami menuju kepada keadaan Islam secara totalitas adalah wajib.
Kewajiban ini didasarkan pada sejumlah dalil, baik dalam Al-Qur’an dan hadits.
Dalil dalam Al-Qur’an, misalnya, di antaranya ialah perintah berislam secara
totalitas (kaffah)[1],
perintah taat kepada Allah dan Rasulullah[2],
perintah bersegera melaksanakan syariat[3],
perintah berhukum dengan aturan Allah[4],
serta perintah berhijrah[5]
itu sendiri. Selain itu, kita juga seharusnya mencontoh ketaatan para sahabat
dalam menjalankan syariat. Saat mereka mengetahui ada syariat yang turun,
seketika itu juga mereka langsung menjalankannya.
Sebagai seorang hamba yang
mengaku beriman kepada Allah dan Rasulnya, kita semestinya taat kepada syariat.
Oleh sebab itu, kita jadikan bulan Muharam 1442 H ini menjadi momentum
berhijrah ke dalam Islam yang totalitas (kaffah) seperti penjabaran berikut
ini.
1) Memperbagus Ibadah Mahdoh
dan Menyadari Arti dari Syahadat
Langkah pertama memulai hijrah
kita lakukan dengan memperbagus ibadah kita kepada Allah SWT. Maksudnya ialah
ibadah kita saat ini harus lebih baik lagi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kita harus senantiasa istiqomah menjalankan ibadah yang wajib dan memperbanyak
ibadah sunnah.
Di samping itu, kita juga
harus sadari betul konsekeunsi dari syahadat yang telah kita baca. Dalam
syahadat yang pertama, kita meyakini Allah sebagai satu-satu illah yang
disembah, tiada yang lain. Konsekuensi dari hal ini ialah segala hukum yang
telah Allah tetapkan wajib kita terima dan jalani. Begitu pula sebaliknya,
segala hukum yang bertentangan dengan hukum Allah wajib kita tolak dan buang, seperti hukum
demokrasi dan sistem kapitalisme di negeri kita saat ini.
2) Mengubah Penampilan
Hijrah selanjutnya ialah kita
harus mengubah penampilan. Maksudnya ialah kita ubah cara berpakaian yang
awalnya tidak syar’i menjadi berpakaian yang syar’i. Dalam QS. Al-A’raf ayat
26, Allah menjelaskan bahwa fungsi pakaian ialah untuk menutup aurat. Maka dari
itu, kita harus kembalikan fungsi pakaian tersebut sesuai dengan fungsi
utamanya yaitu menutup aurat. Aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut
dan aurat perempuan adalah seluruh badan kecuali dua telapak tangan dan wajah.
Selain menutup aurat, ada juga
sejumlah aturan lain dalam Islam tentang kriteria pakaian syar’i. Aturan
tersebut yaitu pakaian tidak ketat, tidak transparan, tidak menyerupai kaum
kafir, dan tidak menyerupai lawan jenis. Di samping itu, ada pula aturan tambahan
khusus bagi wanita yaitu harus berjilbab (bukan baju potongan), kerudung tidak
menyerupai punuk unta, dan tidak tabaruj.
3) Beralih Ke Makanan yang Thoyyib
Hijrah selanjutnya adalah beralih
ke makanan yang thoyyib. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk
mengonsumsi makanan yang halal saja, namun juga harus thoyyib[6]. Dalam
tafsirnya terkait QS. Al-Baqarah ayat 168, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna
makanan thoyyib adalah makanan yang tidak membahayakan fisik dan akal
saat dikonsumsi. Dengan kata lain, makanan thoyyib adalah makanan yang sehat
dan tidak mengandung zat-zat berbahaya jika dikonsumsi.
Jika melihat realita saat ini,
kita bisa menemukan banyak sekali makanan tidak thoyyib yang beredar. Makanan
itu mengandung bahan pemanis buatan, penguat rasa sintetis, dan pengawet buatan
yang kesemuanya itu sangat berbahaya bagi tubuh jika dikonsunsi terlalu banyak
dan sering. Maka dari itu, semestinya kita harus mulai cermat memilih makanan
yang memenuhi kriteria thoyyib itu. Hal ini bertujuan agar tubuh kita
tetap sehat dan kuat sehingga menjadi muslim yang dicintai oleh Allah SWT[7].
4) Beralih ke Pekerjaan yang
Halal
Hijrah yang selanjutnya adalah
beralih ke pekerjaan yang halal. Hukum asal perbuatan seorang hamba terikat
dengan hukum syara’. Maka dari itu, segala perbuatan harus disandarkan kepada
syariat Islam. Jika syariat melarang perbuatan tersebut, maka kita harus
menjauhinya, termasuk juga dalam hal pekerjaan. Jika di dalam pekerjaan itu
mengandung unsur keharaman seperti riba, misalnya, maka kita harus
meninggalkannya dan beralih ke pekerjaan yang halal.
Sebelum Islam datang, masyarakat
Mekkah sudah terbiasa dengan gaya berdagangnya yang suka menipu pembeli. Hal
itu seperti mengurangi takaran timbangan, menyembunyikan produk yang cacat,
mencampur suatu produk dengan bahan lain sehingga kandungannya tidak murni
lagi, dan sebagainya. Namun, saat Islam datang, kebiasaan itu ditinggalkan dan
mereka beralih ke pekerjaan yang halal.
5) Bergabung dalam Jamaah Dakwah
Hijrah yang paling puncak ialah bergabung
ke dalam jamaah dakwah yang bertujuan untuk melanjutkan kembali kehidupan
Islam. Hal ini seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Beliau memulai dakwahnya dari tahap pertama yaitu tahap pembinaan dan
pengkaderan (marhalah tatsqif wa ta’win). Beliau mengajak umat untuk
masuk Islam dan membentuk jamaah dakwah. Setelah itu, beliau beralih ke tahapan
dakwah yang kedua dengan melakukan dakwah secara terang-terangan di
tengah-tengah umat. Saat umat siap diatur dengan aturan Islam, beliau akhirnya
dibaiat dan seketika itu juga tahapan dakwah beralih ke tahap terakhir yaitu
tahap penerapan hukum-hukum Islam oleh negara.
Pada saat dakwah mencapai tahapan
puncak inilah, kehidupan Islam mulai dapat dilaksanakan secara totalitas. Semua
hukum yang dijalankan bersumber dari syariat Islam. Pada saat seperti ini,
hijrah yang sebenar-sebenarnya bisa terwujud yaitu hidup baru dalam naungan
Islam. []
[1]
QS. Al-Baqarah ayat 208
[2]
QS. Az-Zariyat ayat 50; An-Nur ayat 54; An-Nisa ayat 69 dan 80
[3]
QS. Ali Imron ayat 133; An-Nur ayat 51-52
[4]
Al-Ahzab ayat 36; AN-Nisa ayat 65
[5]
QS. Al-Baqarah ayat 218; Al-Anfal ayat 74
[6]
QS. Al-Maidah ayat 88; Al-Baqarah ayat 168; Al-Anfal ayat 69; An-Nahl ayat 114
[7]
Lihat hadits riwayat Muslim nomor 2664