1. Hukum Syara’ Ada Lima dan Bersumber
dari Empat, Bukan yang Lain
Ulama membagi hukum
syara’ itu menjadi lima, yaitu wajib (fardhu), sunnah (mandub), mubah, makruh,
dan haram. Kelima macam hukum syara’ ini memiliki ketentuan khusus
masing-masing. Poin penting dari pembahasan ini ialah hukum syara’ bersumber
dari Al-Qur’an, hadits, ijma’ shohabat, dan qiyas syar’ie. Jadi, suatu
aktivitas dikatakan wajib, sunnah, atau bahkan haram itu diketahui dari ijtihad
seorang mujtahid yang tentunya berdalil dengan empat sumber itu, bukan dari yang
lain seperti dari foto, perkataan menteri, omongan profesor yang menolak Islam kaffah,
buzzeRp, dan sebagainya.
Wajib adalah
perintah dari asy-syari’ (sang pembuat hukum, yaitu Allah) yang dituntut untuk
mengerjakannya karena perintahnya tegas (jazm), pelakunya akan mendapat pujian
(pahala), namun jika dilanggar akan mendapat sanksi berupa dosa, siksa, celaan,
adzab, dsj.
Sunnah adalah
perintah dari asy-syari’ yang bersifat tidak tegas, sehingga boleh dikerjakan
perintah tersebut, juga boleh tidak; jika dikerjakan, pelakunya mendapat pujian
dari asy-syari’
Mubah adalah
suatu perbuatan yang diberikan pilihan
antara mengerjakan atau tidak mengerjakan.
Makruh adalah
larangan dari asy-syari’ yang bersifat tidak tegas, sehingga jika ditinggalkan
(tidak melakukan sesuatu yang dilarang itu) akan mendapat pujian.
Haram adalah
larangan dari asy-syari’ yang bersifat tegas, sehingga harus ditinggalkan
(tidak melakukan sesuatu yang dilarang itu). Pelaku yang melakukan keharaman
akan mendapat sanksi berupa dosa, siksa, celaan, adzab, dsj.
Sebagai contoh,
berhijab (berjilbab + berkerudung) bagi muslimah adalah wajib. Kewajiban ini
berdasarkan dalil dalam Al-Qur'an dan hadits. Jadi, meskipun ada ribuan orang
zaman sekarang atau zaman dahulu yang tidak berhijab, ditambah lagi jika ada
menteri atau pun guru besar mengatakan hal itu tidak wajib, maka berjilbab dan
berkerudung itu tetap wajib. Foto atau pun ucapan-ucapan mereka sama sekali
tidak berguna.
2. Perkara Wajib Berasal dari
Allah dan Rasul-Nya, Jangan Memusuhinya
Suatu perkara
atau aktivitas dihukumi wajib, sunnah, atau bahkan haram itu bersumber dari
empat hal. Karenanya, perkara itu sejatinya berasal dari Allah dan Rasulullah
Saw. Jadi, jika Allah dan Rasulullah memerintahkan sesuatu hal yang wajib, kita
harus melaksanakannya. Jika Allah dan Rasulullah melarang (meng-haramkan) atas
sesuatu, maka kita juga harus meninggalkan atau menjauhi larangan itu.
Jadi, jangan sampai karena sedang menjadi penguasa,
menteri, atau semacamnya, kita memusuhi perkara wajib seperti memusuhi khilafah
dan menganggapnya berbahaya. Padahal hal tersebut merupakan bagian dari syariat
Islam. Memusuhi
perkara wajib berarti sama saja memusuhi Allah dan Rasulullah. Jika Allah dan
Rasulullah dimusuhi, mau minta pertolongan ke siapa kelak di hari kiamat?
3. Wajib
Bertemu Wajib,
Jika perkara wajib
bertemu wajib, maka keduanya harus dilakukan, bukan hanya melakukan yang satu
lalu menentang yang satunya. Sebagai contoh, berhijab (jilbab + kerudung) itu
wajib, ber-akhlak baik itu juga wajib. Maka, kedua hal ini harus dilakukan,
bukan justru menolak kerudung dengan mengatakan, “Lebih baik hatinya yang di-hijab
(maksudnya: berakhlak baik) daripada berhijab tapi akhlaknya buruk.”
Contoh yang
lainnya ialah hukuman hudud dan jinayat adalah wajib dilaksanakan oleh negara, mengatur
pelaksanaan haji juga wajib bagi negara. Maka, kedua hal ini dilaksanakan
semua, bukan hanya mengatur sesuatu yang ber-duit saja (seperti haji, zakat,
dll), tapi menolak hudud dan jinayat.
4. Wajib
Bertemu Sunnah,
Apabila ada
perkara yang wajib dan ada perkara sunnah, perkara yang harus dikerjakan dulu
adalah perkara wajib. Sekalipun perkara wajib itu berat, maka perkara itu tetap
di-ikhtiarkan agar bisa ditunaikan. Hati-hati, jangan tergiur dengan pahala dari
yang sunnah sehingga membuat perkara yang wajib ditinggalkan.
Sebagai contoh,
membaca Al-Quran adalah sunnah yang memiliki banyak sekali keutamaan,
menerapkan isi Al-Qur’an dalam kehidupan adalah wajib. Maka, kita harus
semaksimalkan mungkin berjuang agar isi Al-Qur’an bisa diterapkan di bumi Allah
ini. Jadi, jangan sebatas fokus membaca Al-Qur’an tanpa memperjuangkan syariat
yang ada di dalamnya, ya!
5. Haram
Tetap Haram, Meskipun Membawa Keuntungan Materi
Perkara yang sudah ditetapkan haram, maka ia akan dihukumi haram. Hal itu tidak akan berubah meski membawa manfaat. Sebagai contoh, mengonsumsi minuman ber-alkohol (khamr) adalah haram. Maka, melakukan aktivitas itu adalah haram, bukan justru menjadi mubah (boleh) lantaran mendatangkan keuntungan materi. Seperti aturan saat ini, miras dengan kadar tertentu diperbolehkan (tidak dilarang) karena motif mendatangkan keuntungan bagi negara. Begitu pula, zina juga haram. Maka, seharusnya zina juga harus dilarang total, bukan justru dilokalisasi lantaran mampu menghasilkan uang pajak.