sumber gambar: popbela.com |
Bersedekah (ber-shodaqoh) merupakan aktivitas
mengeluarkan harta (infaq) untuk orang lain, bisa berupa uang, barang
yang dapat dimanfaatkan, atau jasa yang dapat dirasakan. Bersedekah merupakan
suatu amalan yang mulia. Kita dianjurkan untuk bersedekah karena hal itu adalah
sunnah sehingga pelakunya akan mendapatkan pahala. Insya Allah!
Dalam hal ini, kita sepatutnya mencontoh Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pribadi yang sangat dermawan atau suka
bersedekah.
Bersedekah tidak harus selalu ditujukan kepada orang
yang tidak mampu. Terkadang kita juga bersedekah kepada saudara atau teman,
meski dalam hal kecil pun seperti memberi makanan dan minuman saat dia bertamu
ke rumah.
Namun, perlu kita ketahui, tidak selamanya bersedekah
itu mendatangkan pahala. Justru dalam kondisi tertentu, bersedekah itu menjadi
haram sehingga mendatangkan dosa. Berikut ini lima kondisi yang membuat harta
yang kita keluarkan untuk bersedekah justru mendatangkan dosa. Kelima hal
tersebut digali dari dalil-dalil dalam syariah Islam.
1. Ketika diri sendiri sedang melarat
Hal yang harus didahulukan adalah menunaikan aktivitas
wajib. Jika sudah tertunaikan, baru melakukan aktivitas yang hukumnya sunnah.
Begitu pula dalam perkara mengeluarkan harta (infaq). Menafkahi diri
sendiri, istri, anak, adalah perkara wajib, maka harus dilaksanakan terlebih
dahulu. Begitu pula, menafkahi orang tua sendiri (jika orang tua sudah tidak
mampu bekerja) maka juga menjadi kewajiban bagi anak laki-lakinya yang sudah
baligh.
Jika ingin bersedekah (dengan jumlah banyak) kepada
orang lain, maka penuhi terlebih dahulu kebutuhan Anda dan orang-orang yang
menjadi tanggungan Anda dengan cara yang makruf yaitu besarannya sesuai dengan
keumuman masyarakat setempat. Bersedekah kepada orang lain sampai membuat diri
sendiri melarat (sehingga sangat membutuhkan bantuan dari orang lain) justru
dilarang oleh Rasulullah SAW.
Hal tersebut telah dijelaskan dalam hadits riwayat
Muslim. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya): "Mulailah dari dirimu.
Maka, nafkahilah dirimu. Apabila ada suatu kelebihan, maka peruntukkan bagi
keluargamu. Apabila masih ada sisa suatu kelebihan (setelah memberi nafkah)
terhadap keluargamu, maka peruntukkan bagi kerabat dekatmu. Apabila masih ada
sisa suatu kelebihan (setelah memberi nafkah) terhadap kerabatmu, maka
beginilah. Dan begitulah (yang seharusnya) dia katakan. Maka, (mulailah) yang
di depanmu, lalu terhadap kananmu, serta (kemudian) terhadap kirimu.”.
Imam ad-Darimy telah meriwayatkan dari Jabir bin
Abdillah tentang kisah seorang laki-laki yang ditolak sedekahnya oleh
Rasulullah. Suatu ketika dia mempunyai harta rampasan perang berupa topi baja
yang terbuat dari emas. Dia ingin menyedekahkannya kepada Rasulullah. Dia
berkata bahwa dia tidak punya harta lain selain harta tersebut. Maka dari itu,
Rasulullah menolak pemberiannya.
Selanjutnya, Rasulullah bersabda (yang artinya),
“(Hendaknya) salah seorang di antara kalian menahan hartanya, ketika orang lain
tidak mempunyainya, dimana dia menyedekahkannya lalu (setelah itu) dia
mengemis-ngemis kepada orang lain. Sebab, sedekah itu hanyalah dari orang yang kaya
(maksudnya: orang sudah terpenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan dari keumuman
masyarakat setempat, --pent). Ambillah, harta yang engkau butuhkan. Kami tidak
membutuhkannya.” Kemudian orang tersebut mengambil kembali hartanya yang
tadinya mau disedekahkan itu.
2. Ketika berwasiat
Memberi wasiat saat menjelang meninggal dunia itu juga
diatur dalam Islam. Jadi, jangan sembarangan seperti cerita di
sinetron-sinetron. Seseorang tidak boleh berwasiat untuk menyedekahkan hartanya
lebih dari sepertiga. Sebab, di dalam harta itu ada hak dari ahli waris. Jadi,
jika ada sinetron ---yang mengisahkan orang tua kaya raya bertemu orang miskin
yang baik hati, lalu membuat orang tua kaya itu berwasiat memberikan setengah
atau lebih harta yang dimilikinya itu kepada orang miskin tadi--- jangan ditiru
karena itu menyesatkan.
Islam membatasi besaran wasiat yaitu tidak boleh lebih
dari sepertiga harta yang dimiliki. Jika melebihi, maka ahli warisnya berhak
menarik kembali kelebihan tersebut. Maka dari itu, haram hukumnya berwasiat
untuk menyedekahkan harta melebihi sepertiga hartanya.
3. Ketika memperoleh jasa dari pekerja
Barangkali di antara kita pernah memberikan uang tip
kepada salah seorang karyawan di kantor desa/kecamatan atau lainnya setelah
kita mendapatkan pelayanan darinya.
Perlu kita sadari bahwa memberikan hadiah atau sedekah
seperti pada fakta di atas hukumnya ialah haram. Sebab, tidak boleh seorang
petugas atau pekerja yang sudah digaji menerima imbalan tambahan di luar
gajinya dari seseorang lantaran pekerjaannya itu.
Contoh lain dalam dunia kampus, dosen pembimbing
skripsi yang resmi digaji oleh pemerintah/yayasan haram hukumnya menerima
imbalan di luar gajinya dari orang lain (mahasiswa) yang telah merasakan
jasanya. Maka, mahasiswa tidak boleh memberikan uang tip kepadanya meskipun
sudah mendapatkan pelayanan baik darinya yaitu mendapat bimbingan dalam
menyusun skripsi. Sebab, dia sudah digaji sebagai dosen pembimbing skripsi.
Begitu pula, kita tidak boleh memberikan uang tip
kepada petugas yang sudah digaji meski kita sudah mendapatkan pelayanan darinya
sesuai dengan pekerjaannya.
Dalil keharaman ini bersumber dari sabda Rasulullah
SAW (yang artinya), “Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai untuk
melakukan suatu pekerjaan, lalu kami sudah berikan gaji kepadanya, maka apa
saja yang dia ambil di luar gaji itu adalah harta khianat (ghuluul).” (riwayat
Abu Dawud).
Kesimpulannya, berdasarkan hadis tersebut, seseorang
yang telah bekerja di suatu pihak yang mempekerjakannya (baik pihak
individu/swasta atau pemerintah) dan seseorang itu sudah diupah untuk
pekerjaannya, maka uang atau harta yang diambil atau diterimanya selain dari
upah tersebut, hukumnya haram. Begitu pula, uang atau harta yang kita berikan
kepada seorang pekerja tersebut hukumnya haram juga.
4. Ketika bersamaan membayar hutang
Tidak semua sedekah itu mendatangkan pahala. Dalam
poin ini, jika Anda hendak membayar hutang kepada seseorang (sebut saja Fulan),
hendaknya Anda jangan melebihkan atau menguranginya karena hal itu termasuk
riba yang hukumnya haram. Mungkin Anda berpikir bahwa si Fulan adalah orang
baik karena telah memberikan pinjaman uang sehingga perlu dibalas kebaikannya.
Namun, Anda juga harus sadari bahwa melebihkan pengembalian hutang itu dalam
bentuk uang atau hadiah barang atau jasa itu termasuk riba.
Maka dari itu, Anda harus menunda dulu memberikan
sedekah berupa uang atau hadiah barang atau jasa kepada orang tersebut. Jangan
dilakukan bersamaan dengan membayar hutang. Namun, ketika si Fulan (orang yang
menghutangi Anda) berkunjung ke rumah Anda, Anda tetap boleh memberikan
pelayanan seperti tamu pada umumnya, seperti menyuguhkan minuman serta makanan.
5. Ketika kuat dugaan digunakan untuk keharaman
Jika sebelum bersedekah kepada seseorang, Anda mengetahui atau menduga kuat bahwa seseorang tersebut akan memanfaatkan harta sedekah itu untuk keharaman atau kemaksiatan (seperti digunakan untuk membeli miras, ganja, sabu, dll), maka Anda harus mengurungkan niat untuk bersedekah kepada orang tersebut. Sebab, haram hukumnya memberikan sedekah kepada orang lain yang kuat dugaan orang tersebut akan memanfaatkan harta tersebut untuk kemaksiatan. Keharaman ini didasarkan pada kaidah fiqih: “al-wasilah ila al-haram haram” (artinya: segala perantaraan yang mengantarkan pada yang haram, maka hukumnya haram).