sumber gambar: jagad.id |
Menjelang 25
Desember, banyak umat Islam yang menjadi latah dengan ikut-ikutan mengucapkan
selamat hari raya natal kepada kaum nasrani / kristiani. Tidak cukup sampai di
situ saja, beberapa orang yang ngakunya muslim juga turut memeriahkan hari raya
mereka, bahkan hingga masuk ke gereja. Mereka beralasan, mengucapkan selamat
dan memeriahkan hari raya agama lain merupakan bentuk toleransi antar umat
beragama.
Jika kita
mempelajari Islam lebih mendalam tentang bagaimana hukumnya mengucapkan selamat
atau memeriahkan hari raya agama lain, kita akan mendapati bahwa hukum
melakukan hal tersebut adalah haram. Allah subhanahu wa ta’ala telah
menjelaskan dalam QS. Al-Kafirun. Jika masih belum jelas, bisa mempelajari
penjelasannya dalam berbagai kitab-kitab tafsir karya ulama-ulama generasi
salafus sholeh.
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pun juga pernah mengeluarkan fatwa nomor 5 tahun 1981. Dalam
fatwa tersebut dijelaskan bahwa umat Islam haram mengucapkan selamat natal. Bahkan
yang terbaru, fatwa MUI Sumatera Utara nomor 39/DP-PII/XII/2021 juga turut
menyatakan bahwa mengucapkan selamat natal hukumnya haram.
Meskipun sudah
dijelaskan keharamannya, masih ada pihak tertentu yang membolehkan mengucapkan
selamat natal. Namun, jika ditelusuri, dalil yang mereka pakai itu ternyata
tidak sesuai dengan konteks penggunaannya.
Dalil yang
mereka pakai ialah adanya ucapan selamat atas kelahiran nabi Isa (di dalam QS.
Maryam). Dari dalil tersebut, mereka memahami bolehnya mengucapkan selamat
natal. Padahal jika kita berpikir komprehensif, Isa yang dimaksud dalam agama
nasrani bukanlah nabi ---sebagaimana yang diyakini umat Islam--- melainkan
sebagai anak Tuhan. Mengucapkan selamat natal berarti mengakui Isa sebagai anak
Tuhan seperti kepercayaan agama nasrani. Dan, Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan
dalam firmannya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam’” (QS. Al-Maidah:72).
Di samping itu,
mengucapkan selamat natal berarti mengingkari firman Allah dalam surat
Al-Ikhlas ayat 3. Sebab, mengucapkan selamat natal sama saja mengakui Isa
sebagai anak Tuhan sebagaimana yang diyakini oleh umat nasrani. Padahal Allah
berfirman (yang artinya): “Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan”.
Adapun dalil
lainnya yang mereka pakai dalam membolehkan mengucapkan selamat natal ialah
bergembira bersama dengan umat agama lain yang sedang merayakan hari raya itu
hal yang bagus. Padahal jika kita melihat kitab Muharror al Wajiz Fi Tafsir
al Kitab al Aziz, kita dapati ketika membahas tafsir surat Al-Ghosyiyah
ayat 3, diceritakan bahwa Umar bin Khattab, sahabat nabi yang dijamin masuk
surga, justru menangis lantaran kasihan melihat para pendeta khusyu dalam
ritual mereka yang kelak amalannya sia-sia di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Lantas, jika
sudah jelas hukum mengucapkan selamat natal adalah haram, apakah berarti Islam
tidak mengajari toleransi antar umat beragama?
Jawabannya ialah
Islam justru menjunjung tinggi toleransi. Dalam hadits riwayat Imam Thabrani,
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, (yang artinya) “Barang siapa
yang menyakiti orang dzimmi (orang kafir yang hidup di dalam daulah
Islam serta tunduk & patuh terhadap aturan di dalam daulah Islam), berarti
dia telah menyakiti diriku. Dan, barang siapa menyakiti
diriku, berarti dia menyakiti Allah.” Masya Allah, begitu tingginya
Rasulullah melindungi warga non-muslim ketika beliau menjadi kepala negara di
Madinah.
Namun, kita harus
memahami bahwa toleransi setiap agama punya caranya tersendiri. Oleh sebab itu,
jangan samakan cara toleransi ala non-muslim dan muslim karena pasti berbeda
ajarannya. Jika umat nasrani biasa mengucapkan selamat hari raya idul fitri
kepada umat Islam, itu berarti cara toleransi mereka ya memang begitu dan
ajaran mereka tidak mempermasalahkan hal itu.
Adapun toleransi
ala umat Islam punya caranya tersendiri. Ritual keagamaan mereka di gereja, sedangkan
ibadah kita di masjid. Jelas berbeda. Jadi, kita jangan latah dengan ikut-ikutan
mengucapkan selamat hari raya kepada mereka.
Lantas, bagaimana kita bertoleransi kepada non-muslim?
Agar tidak salah
kaprah tentang toleransi ala Islam, berikut penjelasan sederhana yang
diungkapkan oleh salah seorang pakar ekonomi Islam, Ustadz Dwi Condro Triono,
Ph.D. Beliau menjelaskan makna toleransi dengan menganalogikan dengan istri.
“Toleransi itu cukup mengucapkan cinta kepada istri masing-masing, kemudian
tidak saling mengganggu. Tidak perlu memaksakan mengucapkan cinta kepada istri
orang lain. Itu malah bisa saling mengganggu,” cuit beliau dalam akun
twitter-nya.
Penjelasan yang lain tentang toleransi juga disampaikan
oleh salah satu pengguna media sosial, @AlGhuroba000. Dalam
cuitannya di twitter, dia membagikan poster yang menjelaskan makna toleransi. “Toleransi
itu, kamu minum kopi dan saya minum teh. Dan kita sama-sama menikmati minuman
favorit kita tanpa harus masukin kopi kamu ke dalam teh saya,”
Lebih lanjut,
Kak Limin, koordinator komunitas @TemanSurga Kota Lubuk Linggau menuturkan
untuk tidak ikut-ikutan merayakan hari raya agama lain. “Umat Islam tidak perlu
ikut-ikutan merayakan hari raya umat lain. Karena setiap umat punya hari
rayanya masing-masing. Dan natal bukan hari raya umat Islam,” ungkapnya.
Semoga penjelasannya ini dapat memahamkan kita semua tentang makna toleransi itu. Memang, Islam menjunjung tinggi toleransi tapi cara toleransi dalam Islam itu ialah membiarkan mereka merayakan hari raya mereka tanpa kita ganggu dan tanpa kita ikut-ikutan merayakannya.