Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa perjalanan Nabi Saw dari Masjidil Haram menuju ke Masjidil Aqsa dan lanjut ke Sidratul Muntaha dalam waktu semalam. Dalam peristiwa yang terjadi pada 27 Rajab tahun ke delapan masa kenabian itu, Nabi Muhammad Saw menerima syariat sholat lima waktu dari Allah Swt. Hal inilah yang umumnya menjadi pembahasan di setiap kajian peringatan Isra’ Mi’raj. Sayangnya, tidak banyak kaum muslimin mengetahui satu hal lagi pasca peristiwa Isra’ Mi’raj itu.
Esok harinya,
Nabi Muhammad menyampaikan kepada masyarakat Arab terkait apa yang dialaminya
itu. Mendengar cerita nabi, orang-orang kafir quraisy tertawa lantaran cerita
yang disampaikan Nabi itu tidak masuk akal. Sebab, pada saat itu belum ada
kendaraan yang mampu mengantarkan seseorang menuju ke suatu tempat yang
jaraknya mencapai 15.000 km dalam waktu semalam. Lebih tidak masuk akal lagi,
bagaimana mungkin seseorang bisa terbang sampai ke langit ketujuh dan bisa
kembali ke tempat asal hanya dalam semalam?
Peristiwa itu
ternyata menggoyahkan keimanan sebagian kaum muslimin. Orang-orang yang lemah
imannya menyatakan murtad setelah mendengar cerita yang tak masuk akal itu.
Adapun orang-orang yang kuat imannya mempercayai peristiwa tersebut sebab Nabi Saw
tidak pernah berbohong bahkan masyarakat Quraisy pun memberi gelar “Al-Amiin”
kepada beliau sebelum beliau menjadi nabi.
Di samping itu,
ada satu sahabat nabi yaitu Abu Bakar yang meyakini peristiwa tersebut secara
pasti / kuat (jazm). Abu Bakar merupakan seorang saudagar yang pernah berdagang
ke wilayah syam yang sekarang terpecah menjadi empat negara dan salah satunya
adalah Palestina. Hal tersebut membuat Abu Bakar mengetahui secara pasti
seperti apa wilayah Palestina itu, termasuk juga mengetahui seperti apa
Masjidil Aqsa itu.
Saat Nabi Saw
menceritakan peristiwa Isra’ Mi’raj yaitu peristiwa perjalanannya menuju ke
Masjidil Aqsa, Abu Bakar meminta Nabi untuk mendeskripsikan tempat tersebut.
Deskripsi yang disampaikan nabi itu sama seperti fakta yang Abu Bakar ketahui
sendiri tentang Masjidil Aqsa. Hal itu membuat Abu Bakar yakin secara pasti
bahwa Nabi benar-benar telah melakukan Isra’ Mi’raj. Abu Bakar menjadi orang
pertama yang meyakini peristiwa tersebut secara pati tanpa ada keragunan sehingga
ia dijuluki “Ash-Shiddiq” oleh Nabi Saw.
Dari kisah ini,
kita dapat mengambil satu pelajaran berharga. Seseorang dapat yakin atau
percaya secara pasti (percaya 100%) jika dapat dibuktikan dengan akal. Seperti
kisah di atas, Abu Bakar seratus persen percaya kepada ucapan Nabi Saw setelah
apa yang disampaikan nabi sama dengan yang difaktai Abu Bakar. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mencontoh
Abu Bakar termasuk sahabat nabi yang lain terkait memperoleh keimanan yang kuat
sehingga mereka benar-benar yakin kepada Islam dan berjuang sungguh-sungguh dalam
dakwah sampai Islam bisa tersebar serta diterapkan secara totalitas baik dalam
ranah individu, keluarga, masyarakat, sampai negara.
Rukun iman itu
ada enam yaitu beriman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, serta qadha
dan qadar. Dari enam itu, ada tiga rukun iman yang dapat kita peroleh dengan
cara berpikir sehingga nantinya insya Allah akan menghasilkan keimanan yang
kuat.
Pertama, Beriman
kepada Allah
Orang-orang
ateis tidak percaya kepada adanya Pencipta (Al-Khaliq / Tuhan) karena mereka menganggap
bahwa sesuatu yang tidak tampak maka sesuatu itu tidak ada. Namun, jika
berpikir dengan cemerlang (fikrul mustanir) tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan,
kita akan dapati bahwa Pencipta itu pasti ada. Contoh sederhana, ketika kita
melihat ada jejak kaki di tanah, meskipun kita belum pernah menjumpainya siapa
yang lewat, kita akan percaya bahwa ada yang lewat di tempat itu sebelumnya.
Sebab, secara akal, adanya jejak kaki pasti ada yang membuatnya. Contoh
lainnya, saat melihat rumah-rumah di sekeliling, kita pasti yakin bahwa rumah
itu dibuat, tidak akan ada dengan sendirinya. Begitu pula keberadaan manusia,
alam semesta, dan kehidupan pasti ada yang membuat yaitu Pencipta / Al- Khaliq.
Justru tidak masuk akal jika ketiganya itu ada dengan sendirinya. Dari sinilah,
jelas bahwa justru pemikiran orang-orang ateis ini tertolak karena tidak masuk
akal.
Setelah kita
yakin bahwa Pencipta itu pasti ada. Selanjutnya kita mencari, siapa Pencipta
kita itu?
Manusia, alam
semesta, dan kehidupan (termasuk hewan dan tumbuhan) adalah ciptaan (dalam
bahasa Arab disebut makhluk). Ketiganya itu memiliki kesamaan yaitu a) tidak
bisa memiliki kekuatan di luar kemampuannya berarti lemah; b) tidak bisa
melampaui usia yang berlaku pada umumnya berarti terbatas; dan c) tidak bisa
hidup / ada sendirian tanpa kehadiran pihak lain berarti bergantung atau membutuhkan
yang lain. Alhasil, manusia, alam semesta, dan kehidupan memiliki tiga kesamaan
yaitu lemah, terbatas, dan membutuhkan yang lain.
Pencipta adalah
dzat yang menciptakan makhluk maka Pencipta harus berbeda dengan makhluk. Maka
dari itu, Pencipta tidak boleh lemah, terbatas, dan bergantung dengan yang
lain. Sehingga, Pencipta itu harus maha kuasa; azali yaitu tidak berawal dan
tidak berakhir (termasuk tidak dilahirkan dan tidak mati); dan Pencipta itu harus
esa / hanya satu karena Dia tidak membutuhkan adanya Pencipta yang lain. Dari
sinilah, kita dapat meyakini bahwa Pencipta itu hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang-orang yang
memiliki keimanan yang kuat kepada Allah, ia akan kuat untuk menjaga
keimanannya sampai kapan pun. Kita dapat belajar dari kisah Bilal bin Rabah. Saat
jadi budak, ia disiksa oleh tuannya karena ketahuan masuk Islam. Karena kuatnya
keimanan Bilal, ia tetap dalam keadaan Islam meskipun disiksa berkali-kali.
Bahkan saat ditindih batu, kata yang selalu ia ucapkan adalah “Ahad, Ahad, Ahad”
yang maksudnya adalah Allah itu Satu, Allah itu Satu, Allah itu Satu. Tidak ada
sesembahan lain selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, Beriman
kepada Rasulullah
Pencipta
menciptakan makhluk pasti memiliki tujuan. Karena Pencipta tidak sama dengan
makhluk, maka butuh perantara antara keduanya untuk mengetahui tujuan tersebut.
Perantara itu disebut Rasulullah (utusan Allah).
Jika diibaratkan pabrik alat elektronik, pabrik akan membuat alat elektronik pasti disertai dengan buku petunjuk penggunaan. Begitu pula Allah menciptakan makhluk, Allah akan membuat buku petunjuk (yaitu Al-Qur’an) agar manusia sesuai dengan maksud Allah menciptakannya.
Dari penjelasan
ini, kita dapat simpulkan bahwa kita membutuhkan kehadiran nabi atau rasul
sebagai perantara yang menerima penjelasan dari Pencipta dan kemudian ia
menyampaikannya kepada umat manusia. Tanpa kehadiran nabi atau rasul, manusia
akan beribadah ngawur atau sesuka hati sehingga tidak sesuai dengan maksud dari
Pencipta.
Nabi dan Rasul
kita adalah Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam. Nah, agar kita memiliki
keimanan yang kuat bahwa beliau benar-benar nabi dan rasul, maka satu-satunya
cara adalah kita buktikan buku petunjuk yang beliau bawa yaitu Al-Qur’an. Jika
Al-Qur’an ini terbukti benar, secara otomatis pembawanya juga benar.
Orang-orang yang
memiliki keimanan yang kuat kepada Rasulullah Muhammad, ia akan kuat memegang
dan menjalankan perintah rasul. Bahkan, ia tidak ragu untuk mewujudkan
perkataan rasul seperti Sultan Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel.
Ia sangat yakin dengan perkataan nabi bahwa kota heraklius itu akan ditaklukkan
lebih dulu sebelum kota Roma. Sehingga, Muhamad Al-Fatih beserta pasukannya
berusaha secara maksimal untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Pada akhirnya,
kota tersebut benar-benar ditaklukkan dan menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Ketiga, Beriman
kepada Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah
kitab yang berbahasa Arab. Maka dari itu, kitab ini memiliki tiga kemungkinan
yaitu Al-Qur’an: a) dibuat oleh orang Arab; b) dibuat oleh Muhammad; c) dibuat
oleh Allah.
Kemungkinan pertama
tertolak dan tidak masuk akal. Pasalnya, di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat
ayat yang menantang orang Arab untuk membuat ayat-ayat yang menyerupai Al-Qur’an.
Kenyataannya hingga kini, tidak ada dan tidak akan pernah ada yang mampu
membuat Al-Qur’an tandingan.
“Dan jika kamu
meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka
buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23).
Adapun kemungkinan
yang kedua juga tertolak karena tiga sebab. Sebab pertama, Muhammad termasuk
orang Arab sehingga jika sekiranya Muhammad tidak yakin dengan Al-Qur’an yang
dibawanya sendiri, secara otomatis beliau juga ditantang untuk membuat Al-Qur’an
tandingan. Sebab kedua, Muhammad adalah orang yang umi (tidak bisa baca tulis)
sehingga tidak masuk akal jika beliau bisa membuat Al-Qur’an. Sebab ketiga, gaya
bahasa Al-Qur’an berbeda dengan gaya bahasa hadits sehingga bagaimana mungkin
ada seseorang yang memiliki dua gaya bahasa yang berbeda dan dengan konsisten keduanya
digunakan setiap hari.
Kemungkinan
pertama dan kedua tertolak setelah dibuktikan dengan akal. Oleh sebab itu,
secara otomatis tidak ada kemungkinan lagi kecuali kemungkinan ketiga yaitu
Al-Qur’an dibuat oleh Allah subhanahu wa ta’ala sehingga disebut kalamullah.
Kita dapat
belajar dari kisah Umar bin Khattab masuk Islam. Ketika ia marah mendapati adiknya
telah masuk Islam, Umar akhirnya membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang disembunyikan
oleh saudaranya itu. Pada saat itu, ia membaca surat Thaha. Setelah dibaca, Umar
merasa bahwa kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an berbeda dengan syair-syair buatan
orang Arab. Dari situ, Umar benar-benar yakin bahwa Al-Qur’an bukan buatan
manusia, melainkan buatan Allah. Sejak saat itu pula, Umar menemui Rasulullah
untuk menyatakan keislamannya dan berjuang bersama rasul agar Al-Qur’an bisa
diterapkan secara totalitas dalam lingkup individu, keluarga, masyarakat,
hingga negara.
Setelah kita
benar-benar yakin bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, kita pastinya juga yakin
dengan isi Al-Qur’an. Dengan begitu, secara otomatis juga kita meyakini secara
pasti rukun iman yang lain yang terdapat di dalam Al-Qur’an yaitu iman kepada
malaikat, kitab-kitab sebelum Al-Qur’an, rasul-rasul sebelum Muhammad, hari akhir,
serta qadha dan qadar.
Demikian penjelasan cara memperoleh keimanan yang kuat melalui proses berpikir. Iman kepada Allah, Rasulullah, dan kitab Al-Qur’an harus dibuktikan dengan amal perbuatan yaitu dengan ikut berjuang (berdakwah) untuk menegakkan Islam. Semoga iman ini tetap terjaga hingga ajal menjemput. Aamiin.